Kronologi Sebenarnya Peristiwa Pangukan - Sleman (Bag 1)

Monday, 16 June 2014





 Penyegelan paksa Gereja liar oleh warga di Pangukan, Sleman Yogyakarta pada Ahad (1/6/2014) lalu dipelintir oleh media-media sekuler dengan tindakan intoleran. Padahal sesungguhnya tindakan warga berupa penyegelan paksa dan bentrokan kecil adalah karena Pendeta Niko Lomboan dan Jemaatnya telah mengganggu ketenangan warga dan jelas-jelas telah melanggar undang-undang negara.

Berikut ini kronologi sebenarnya dari kejadian tersebut, disampaikan melalui surat oleh salah seorang warga kepada gemaislam.com Rabu (11/6/2014) malam:

“Selama ini dari 2011, pemberitaan soal peristiwa didusun kami selalu berisi tuduhan bahwa warga tidak punya toleransi terhadap penganut agama lain, tidak menghargai kaum minoritas dan fitnah lainnya.
Untuk itu kami berniat meluruskan fitnah itu dengan menjelaskan dari awal kenapa sampai terjadi peristiwa ini.

Amat sangat kami tegaskan, bahwa peristiwa ini bukan didasari atas sentimen agama, sama sekali bukan.

Sebagai bukti nyata, Pendeta Niko Lomboan sudah tinggal di Pangukan, di perumahan Sleman permai I (belum KTP Pangukan) sejak tahun 1995.

Di rumah Sleman Permai tersebut juga sudah sering digunakan untuk ibadah bersama jemaahnya, dan tidak pernah ada complain dari warga, karena warga memandang kegiatan tersebut sebagai ibadah yang merupakan hak azasi masing- masing pemeluk agama.

Tahun 2010, Pendeta Niko Lomboan membeli sebidang tanah di dusun Pangukan, samping makam. Lalu mulai mendirikan bangunan yang dia katakan kepada para tetangga sekitar sebagai rumah tinggal dia. Tetapi secara arsitektural bangunan tersebut dia bentuk sebagai gereja. Belakangan bangunan tersebut dia klaim sebagai gereja. Dia memasang white-board dengan tulisan jadual kebaktian “Gereja Pantekosta El Shadai”.

Warga tidak mempermasalahkan klaim Niko bahwa bangunan itu adalah gereja, tapi justru pendeta Nico Lomboan yang membuat masalah. Di tanah yang dia dirikan bangunan yang dia klaim sebagai gereja tersebut terdapat saluran irigasi, entah apa niat dari sang pendeta dia mengurug saluran irigasi tersebut.

Saluran irigasi tersebut terhitung sebagai aliran irigasi utama buat ribuan meter persawahan yang berada di selatan jalan, karena posisi sawah yang berada di barat sungai bedog posisinya lebih tinggi.

Pengurugan saluran irigasi tersebut mungkin bagi para intelektual bukan sebuah laku intoleran tapi bagi para petani di 3 dusun sekitar adalah langkah brutal yang mematikan sumber pangan mereka.

Tindakan brutal penutupan saluran irigasi tersebut tidak hanya mematikan pengairan bagi puluhan ribu meter sawah warga, tapi juga membawa dampak buruk lain.

Dampak buruk lain dari penutupan, aliran air dari hulu yang meluap karena saluran bawah diurug meluap ke jalan aspal kampung yang digarap secara gotong royong oleh warga (pendeta Niko tidak ikut gotong royong), sehingga jalan kampung jadi rusak dan yang lebih parah menyebabkan halaman warga yang di dekat tebing sungai longsor.

Dari sinilah kemudian warga mencoba melakukan dialog dengan pendeta Niko. Tapi meski dialog selalu tidak mendapatkan hasil, warga tetap tidak melakukan tindakan anarkis, ini sebuah langkah yang sungguh toleran luar biasa.

Warga tetap mencoba menempuh cara yang tidak melanggar aturan, maka kemudian warga menggugat keberadaan bangunan yang ternyata tanpa ijin tersebut, sebagai upaya pemecahan masalah yang tidak melanggar hukum.

Langkah yang ditempuh oleh warga kemudian menemukan berbagai fakta antara lain:

Berdasarkan informasi dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) dan Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) diketahui bahwa Pembangunan bangunan baru dan perluasan gereja belum mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang seharusnya didahului dengan pengurusan Ijin Peruntukan tanah (IPT). Dalam persyaratan pengurusan IPT harus beberapa persyaratan diantaranya: 1) keterangan kegunaan tanah, 2) analisis lingkungan, 3) rekomendasi Kemenag dan FKUB (untuk tempat ibadah) dan masih ada beberapa persyaratan lainnya.

DPUP telah mengirimkan surat peringatan I kepada Sdr. Niko dengan nomer 640/3781/2010 pada tanggal 14 Desember 2010, untuk menghentikan pembangunan dan segera mengurus ijin.

Tapi respon dari pendeta Niko Lomboan lain, Bangunan yang diklaim sebagai gereja tersebut tetap digunakan kebaktian oleh pendeta Niko Lomboan. Pendeta Niko kemudian dalam setiap omongan, maupun keterangan selalu mengatakan bahwa kegiatan gereja tersebut sudah dilakukan dari tahun 1995,  bahkan kemudian menambahkan papan tulisan Gereja pantekosta, disertai ‘nomer ijin pendirian gereja’.

Berdasarkan informasi dari Kementrian Agama Kabupaten Sleman diketahui bahwa Ijin yang terpampang di papan yang tertulis Keputusan Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama RI No 30 tahun 1988 (D/h Beslit Pemerintah no 33 tanggal 4 6 1937 Stbl.368.ket.departemen Agama RI No E/VII/156/926/73), bukan ijin pendirian/operasional gereja karena Kemenag dan FKUB belum pernah melakukan klarifikasi atas keberadaan gereja tersebut, namun dimungkinkan ijin tersebut adalah ijin keberadaan salah satu aliran dalam agama Kristen. Dengan begitu tidak selayaknya dipasang papan nama tempat ibadah pada bangunan tersebut maupun identitas yang lainnya, sebagai upaya penipuan publik.

Berbagai upaya sesuai aturan hukum terus dilakukan warga, kronologi selanjutnya adalah sebagai berikut :

1.    Pemerintah Dusun dan warga sekitar (khususnya warga RT 01, 02, 03, 04 yang berada di wilayah RW 9 dan 10) merasa belum pernah dilibatkan dalam proses perijinan pendirian tempat peribadatan tersebut, padahal sesuai dengan SKB 2 Menteri 1969 yang direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM Nomor 8/9 Tahun 2006), proses pembuatan ijin rumah ibadah pasti secara otomatis sepengetahuan warga karena ada prasyarat mendapat persetujuan dari 60 orang umat agama lain di wilayah tersebut, serta 90 tanda tangan dari warga setempat yang jadi jemaatnya, serta para pejabat setempat (Lurah/Kades) harus mensahkan persyaratan tadi.

2.    Warga tidak pernah dimintai pernyataan persetujuan pengalihfungsian bangunan rumah tinggal tersebut menjadi rumah ibadah.

3.    Warga yang beragama sama dan beraliran sama seperti peribadatan yang dilakukan di tempat tersebut tidak mencapai kuantitas sesuai dalam SKB 2 Menteri 1969 yang direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM Nomor 8/9 Tahun 2006). Jemaat banyak berasal dari luar Dusun Pangukan, luar Desa Tridadi, bahkan dari luar Kabupaten Sleman.

4.   Sdr. Niko dalam pertemuan selalu mengungkit kebaikannya membantu 12 siswa SD miskin membayar biaya sekolah. Tetapi bantuan tersebut tidak dalam koridor sukarela, karena mengajak keluarga anak yang dibantu untuk datang ke rumahnya yang dia sebut Gereja.

5.    Sdr. Niko juga membujuk beberapa warga untuk beralih ke agamanya, dengan iming – iming, dibelikan kambing, dibelikan sapi, diperbaiki rumahnya dan adapula dengan janji diberi uang.

6.  Situasi sempat memanas ketika pada tanggal 15 Desember 2010, warga pangukan mengadakan acara ziarah dilanjutkan dengan doa bersama di makam, yang notabene bersebelahan langsung dengan rumah saudara Niko yang dia klaim sebagai gereja. Entah disengaja atau tidak, pihak gereja mengajukan perayaan Natalnya. Natal yang diseluruh dunia dirayakan 25 Desember, mereka rayakan dengan meriah pada tanggal 15 Desember, dibarengkan dengan acara warga di makam sebelah.

7.   Polsek sleman sempat meminta pendeta Niko Lomboan agar sementara melepas papan nama gereja pantekosta di depan bangunan sampai ijin resmi dari pemerintah keluar, tetapi jawaban dari sang pendeta adalah dia memasang papan nama satu lagi disisi selatan bangunan yang menghadap jalan besar.

8.   Kejanggalan pada Kartu keluarga Sdr. Niko, karena alamat asal tidak tercantum. Menurut keterangan RT setempat, secara administratif pengurusan KTP tidak melalui RT, bahkan tidak melalui Dukuh pangukan.
Ini sebuah preseden dan pendidikan yang buruk pada masyarakat, bahwa aturan negara bisa saja seenaknya dilanggar, dan sebuah petunjuk bahwa pelanggaran dilakukan sendiri oleh perangkat negara.

Selain Niko sendiri, dalam rumahnya juga banyak warga asing ikut tinggal disana, yang tidak dilaporkan pada pemerintah dusun.

9. Pemerintah Kecamatan Sleman mengajak dialog antara warga pangukan dengan pendeta Niko di pendapa kecamatan Sleman, pada tanggal 24 Desember 2010.

10. Sdr Niko sudah dihimbau oleh kapolsek Sleman, untuk sementara menurunkan papan tulisan “gereja” disisi timur gereja, hingga urusan perijinan diselesaikan. Tapi yang dilakukan sdr. Niko keesokan paginya adalah menambahkan papan tulisan satu lagi dan sama besarnya di sisi selatan gereja. Bahkan kemudian disusul dengan kedatangan oknum yang mengaku dari POLRES sleman (membawa surat tugas resmi) menyampaikan kepada warga agar jangan mengusik keberadaan sdr. Niko karena dilindungi oleh Vatikan dan beberapa perwira tinggi di Mabes POLRI.

11.  Setelah tidak ada kemajuan, warga Pangukan kemudian mengadu ke DPRD Sleman. Oleh DPRD Sleman kemudian difasilitasi untuk melakukan dialog lagi dengan pendeta Niko, pada tanggal 10 Februari 2011. Dalam rembug bersama tersebut, pendeta Niko kembali berjanji untuk segera menyelesaikan perijinan, dan melakukan ‘acara sosialisasi pendirian gereja’ kepada warga sekitar.

Kemudian dicapai kesepakatan, peribadatan dipindahkan ke kantor kecamatan Sleman, hingga pendeta Niko menyelesaikan perijinan.

12.  April 2011, warga menerima kabar, bahwa DPRD Sleman menerima surat teguran dari pimpinan DPR RI, dengan nomor : PW.01/3368/DPRRI/IV/2011 tertanggal 18 April 2011, karena dianggap melakukan pemasungan terhadap kebebasan beragama di Sleman, pada khususnya di dusun Pangukan. Surat teguran tersebut didasarkan atas surat pengaduan yang diklaim dikirimkan oleh warga pangukan bernama Turmudi. Padahal Bapak Turmudi tidak pernah mengirimkan surat tersebut. Surat pengaduan tersebut mengatakan bahwa terjadi
“penutupan tempat ibadah bagi warga nasrani di kabupaten Sleman yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Pangukan akibat mendapat pengaruh radikalisme, padahal tempat ibadah tersebut sudah berdiri selama 15 tahun”,

argumentasi tempat ibadah sudah berusia 15 tahun tersebut adalah keterangan bohong yang sering disampaikan oleh pendeta Niko.

13.  Warga kemudian mengirimkan surat bantahan, bahwa bapak Turmudi sudah mengirimkan surat aduan kepada DPR RI, tertanggal 27 April 2011.

14.   Pada tanggal 7 Maret 2012, Bupati Sleman mengeluarkan surat penolakan permohonan ijin pemanfaatan tanah untuk Gereja dan pastoran yang diajukan oleh Nico Lomboan

15.  Satu malam Pendeta Niko melaporkan ke polisi, bahwa barusaja menerima terror, berupa pelemparan bom Molotov ke bangunan yang dia klaim sebagai gereja tersebut, yang sangat mengagetkan karena suara ledakannya sangat keras. Bom dilemparkan ke tembok yang ada dak cor, sehingga tidak menimbulkan kebakaran. Anehnya, banyak orang yang sedang jajan di sebrang selatan bangunan maupun para tetangga sekitarnya, tidak ada satupun yang mendengar suara ledakan. Memang ada botol bekas minuman keras dilemparkan ke kanopi cor depan bangunan yang dia klaim sebagai gereja, tapi berindikasi isinya minyak tanah, sementara menurut teori hanya Molotov berisi bensin yg bisa menimbulkan suara ledakan.

16.  Seorang pegawai PT SGI bernama Roden, dengan dikawal 6 orang tinggi besar berpenampilan sangar mendatangi pondok Al Huda Pangukan. Saat beberapa warga menyusul datang ke pondok orang – orang sangar itu telah pergi.
Beberapa warga kemudian menyusul ke gereja, karena orang-orang itu datang membicarakan permasalahan gereja, sesampai di gereja, Nico dan istrinya menyambut dengan tidak menyenangkan. Mereka mengaku tidak kenal dengan orang –orang tersebut, tetapi sekian menit kemudian orang – orang tersebut bisa datang menyusul, mereka ikut bicara dengan gaya dan nada bicara yang keras.
Pada awalnya mengatakan tidak kenal, belakangan dikatakan bahwa Roden adalah ketua jemaat.

17.  Minggu 2 Desember 2012 Nico Lomboan melakukan peribadatan kembali di bangunan yang dia klaim sebagai gereja yang ditolak ijinnya tersebut. Bahkan di papan pengumuman juga sudah menuliskan jadual kebaktian selanjutnya, termasuk disitu juga dituliskan bahwa sudah membiayai ganti oli Kapolsek dan Danramil (foto terlampir).
Bahkan ketika ditegur oleh warga, preman anak buah Roden mengancam mau membunuh salah seorang warga yang ikut menonton di depan petugas polisi, petugas polisi hanya diam membiarkan, sampai anak warga tersebut menangis ketakutan polisi tetap membiarkan.

18.  Minggu, 9 Desember 2012. Nico yang sudah tidak tinggal di bangunan yang dia klaim sebagai gereja itu lagi (pindah ke Perum Buana Asri) kembali melakukan acara di bangunan yang dia klaim sebagai  gereja tersebut. Dari pagi bangunan sudah dijaga oleh satpol PP, personil Koramil dan polsek. Orang – orang yang mengaku sebagai jamaah ngotot mau masuk (Nico tidak ada di tempat), termasuk seorang sangar yang diakukan oleh Roden sebagai jamaah (tetapi pakai baju tanpa lengan dan celana pendek), yang kemudian mengancam warga, dengan mengatakan akan mendatangkan semua orang Ambon di jogja untuk melakukan “perhitungan”

19.  Perwakilan warga diminta berkumpul di kantor Satpol PP kabupaten Sleman (siang 9 Desember 2012), untuk berdialog dengan aparat. Komandan Satpol PP menjanjikan bahwa baru bisa mengajukan permintaan penyelesaian masalah ini ke pengadilan pada bulan Februari 2013 karena sudah tidak ada anggaran.

20.   Niko lomboan kemudian diam-diam membangun kembali saluran irigasi yang tadinya dia rusak. Bahkan saluran tersebut dia bikin baru dibelokkan lewat tengah lahan, tujuannya agar saluran itu lebih terekspos gampang terlihat. Pembangunan saluran baru tersebut dia gunakan untuk membantah bahwa penutupan saluran sebelumnya adalah bohong.

Catatan redaksi

Demikianlah tingkah dan perlakuan Pendeta Nico kepada warga setempat yang mayoritas beraga Islam. Ketika warga melakukan penyegelan dan terjadi bentrok dengan Jemaat Gereja, umat Islam yang disalahkan dengan tuduhan intoleran, padahal sebenarnya mereka yang tidak pernah menghargai dan mnghormati warga sekitar yang mayoritas adalah muslim. (bms)



YOGYAKARTA (gemaislam) – Penyegelan paksa Gereja liar oleh warga di Pangukan, Sleman Yogyakarta pada Ahad (1/6/2014) lalu dipelintir oleh media-media sekuler dengan tindakan intoleran. Padahal sesungguhnya tindakan warga berupa penyegelan paksa dan bentrokan kecil adalah karena Pendeta Niko Lomboan dan Jemaatnya telah mengganggu ketenangan warga dan jelas-jelas telah melanggar undang-undang negara.

Berikut ini kronologi sebenarnya dari kejadian tersebut, disampaikan melalui surat oleh salah seorang warga kepada gemaislam.com Rabu (11/6/2014) malam:

“Selama ini dari 2011, pemberitaan soal peristiwa didusun kami selalu berisi tuduhan bahwa warga tidak punya toleransi terhadap penganut agama lain, tidak menghargai kaum minoritas dan fitnah lainnya.
Untuk itu kami berniat meluruskan fitnah itu dengan menjelaskan dari awal kenapa sampai terjadi peristiwa ini.

Amat sangat kami tegaskan, bahwa peristiwa ini bukan didasari atas sentimen agama, sama sekali bukan.

Sebagai bukti nyata, Pendeta Niko Lomboan sudah tinggal di Pangukan, di perumahan Sleman permai I (belum KTP Pangukan) sejak tahun 1995.

Di rumah Sleman Permai tersebut juga sudah sering digunakan untuk ibadah bersama jemaahnya, dan tidak pernah ada complain dari warga, karena warga memandang kegiatan tersebut sebagai ibadah yang merupakan hak azasi masing- masing pemeluk agama.

Tahun 2010, Pendeta Niko Lomboan membeli sebidang tanah di dusun Pangukan, samping makam. Lalu mulai mendirikan bangunan yang dia katakan kepada para tetangga sekitar sebagai rumah tinggal dia. Tetapi secara arsitektural bangunan tersebut dia bentuk sebagai gereja. Belakangan bangunan tersebut dia klaim sebagai gereja. Dia memasang white-board dengan tulisan jadual kebaktian “Gereja Pantekosta El Shadai”.

Warga tidak mempermasalahkan klaim Niko bahwa bangunan itu adalah gereja, tapi justru pendeta Nico Lomboan yang membuat masalah. Di tanah yang dia dirikan bangunan yang dia klaim sebagai gereja tersebut terdapat saluran irigasi, entah apa niat dari sang pendeta dia mengurug saluran irigasi tersebut.

Saluran irigasi tersebut terhitung sebagai aliran irigasi utama buat ribuan meter persawahan yang berada di selatan jalan, karena posisi sawah yang berada di barat sungai bedog posisinya lebih tinggi.

Pengurugan saluran irigasi tersebut mungkin bagi para intelektual bukan sebuah laku intoleran tapi bagi para petani di 3 dusun sekitar adalah langkah brutal yang mematikan sumber pangan mereka.

Tindakan brutal penutupan saluran irigasi tersebut tidak hanya mematikan pengairan bagi puluhan ribu meter sawah warga, tapi juga membawa dampak buruk lain.

Dampak buruk lain dari penutupan, aliran air dari hulu yang meluap karena saluran bawah diurug meluap ke jalan aspal kampung yang digarap secara gotong royong oleh warga (pendeta Niko tidak ikut gotong royong), sehingga jalan kampung jadi rusak dan yang lebih parah menyebabkan halaman warga yang di dekat tebing sungai longsor.

Dari sinilah kemudian warga mencoba melakukan dialog dengan pendeta Niko. Tapi meski dialog selalu tidak mendapatkan hasil, warga tetap tidak melakukan tindakan anarkis, ini sebuah langkah yang sungguh toleran luar biasa.

Warga tetap mencoba menempuh cara yang tidak melanggar aturan, maka kemudian warga menggugat keberadaan bangunan yang ternyata tanpa ijin tersebut, sebagai upaya pemecahan masalah yang tidak melanggar hukum.

Langkah yang ditempuh oleh warga kemudian menemukan berbagai fakta antara lain:

Berdasarkan informasi dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) dan Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) diketahui bahwa Pembangunan bangunan baru dan perluasan gereja belum mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang seharusnya didahului dengan pengurusan Ijin Peruntukan tanah (IPT). Dalam persyaratan pengurusan IPT harus beberapa persyaratan diantaranya: 1) keterangan kegunaan tanah, 2) analisis lingkungan, 3) rekomendasi Kemenag dan FKUB (untuk tempat ibadah) dan masih ada beberapa persyaratan lainnya.

DPUP telah mengirimkan surat peringatan I kepada Sdr. Niko dengan nomer 640/3781/2010 pada tanggal 14 Desember 2010, untuk menghentikan pembangunan dan segera mengurus ijin.

Tapi respon dari pendeta Niko Lomboan lain, Bangunan yang diklaim sebagai gereja tersebut tetap digunakan kebaktian oleh pendeta Niko Lomboan. Pendeta Niko kemudian dalam setiap omongan, maupun keterangan selalu mengatakan bahwa kegiatan gereja tersebut sudah dilakukan dari tahun 1995,  bahkan kemudian menambahkan papan tulisan Gereja pantekosta, disertai ‘nomer ijin pendirian gereja’.

Berdasarkan informasi dari Kementrian Agama Kabupaten Sleman diketahui bahwa Ijin yang terpampang di papan yang tertulis Keputusan Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama RI No 30 tahun 1988 (D/h Beslit Pemerintah no 33 tanggal 4 6 1937 Stbl.368.ket.departemen Agama RI No E/VII/156/926/73), bukan ijin pendirian/operasional gereja karena Kemenag dan FKUB belum pernah melakukan klarifikasi atas keberadaan gereja tersebut, namun dimungkinkan ijin tersebut adalah ijin keberadaan salah satu aliran dalam agama Kristen. Dengan begitu tidak selayaknya dipasang papan nama tempat ibadah pada bangunan tersebut maupun identitas yang lainnya, sebagai upaya penipuan publik.

Berbagai upaya sesuai aturan hukum terus dilakukan warga, kronologi selanjutnya adalah sebagai berikut :

1.    Pemerintah Dusun dan warga sekitar (khususnya warga RT 01, 02, 03, 04 yang berada di wilayah RW 9 dan 10) merasa belum pernah dilibatkan dalam proses perijinan pendirian tempat peribadatan tersebut, padahal sesuai dengan SKB 2 Menteri 1969 yang direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM Nomor 8/9 Tahun 2006), proses pembuatan ijin rumah ibadah pasti secara otomatis sepengetahuan warga karena ada prasyarat mendapat persetujuan dari 60 orang umat agama lain di wilayah tersebut, serta 90 tanda tangan dari warga setempat yang jadi jemaatnya, serta para pejabat setempat (Lurah/Kades) harus mensahkan persyaratan tadi.

2.    Warga tidak pernah dimintai pernyataan persetujuan pengalihfungsian bangunan rumah tinggal tersebut menjadi rumah ibadah.

3.    Warga yang beragama sama dan beraliran sama seperti peribadatan yang dilakukan di tempat tersebut tidak mencapai kuantitas sesuai dalam SKB 2 Menteri 1969 yang direvisi menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM Nomor 8/9 Tahun 2006). Jemaat banyak berasal dari luar Dusun Pangukan, luar Desa Tridadi, bahkan dari luar Kabupaten Sleman.

4.   Sdr. Niko dalam pertemuan selalu mengungkit kebaikannya membantu 12 siswa SD miskin membayar biaya sekolah. Tetapi bantuan tersebut tidak dalam koridor sukarela, karena mengajak keluarga anak yang dibantu untuk datang ke rumahnya yang dia sebut Gereja.

5.    Sdr. Niko juga membujuk beberapa warga untuk beralih ke agamanya, dengan iming – iming, dibelikan kambing, dibelikan sapi, diperbaiki rumahnya dan adapula dengan janji diberi uang.

6.  Situasi sempat memanas ketika pada tanggal 15 Desember 2010, warga pangukan mengadakan acara ziarah dilanjutkan dengan doa bersama di makam, yang notabene bersebelahan langsung dengan rumah saudara Niko yang dia klaim sebagai gereja. Entah disengaja atau tidak, pihak gereja mengajukan perayaan Natalnya. Natal yang diseluruh dunia dirayakan 25 Desember, mereka rayakan dengan meriah pada tanggal 15 Desember, dibarengkan dengan acara warga di makam sebelah.

7.   Polsek sleman sempat meminta pendeta Niko Lomboan agar sementara melepas papan nama gereja pantekosta di depan bangunan sampai ijin resmi dari pemerintah keluar, tetapi jawaban dari sang pendeta adalah dia memasang papan nama satu lagi disisi selatan bangunan yang menghadap jalan besar.

8.   Kejanggalan pada Kartu keluarga Sdr. Niko, karena alamat asal tidak tercantum. Menurut keterangan RT setempat, secara administratif pengurusan KTP tidak melalui RT, bahkan tidak melalui Dukuh pangukan.
Ini sebuah preseden dan pendidikan yang buruk pada masyarakat, bahwa aturan negara bisa saja seenaknya dilanggar, dan sebuah petunjuk bahwa pelanggaran dilakukan sendiri oleh perangkat negara.

Selain Niko sendiri, dalam rumahnya juga banyak warga asing ikut tinggal disana, yang tidak dilaporkan pada pemerintah dusun.

9. Pemerintah Kecamatan Sleman mengajak dialog antara warga pangukan dengan pendeta Niko di pendapa kecamatan Sleman, pada tanggal 24 Desember 2010.

10. Sdr Niko sudah dihimbau oleh kapolsek Sleman, untuk sementara menurunkan papan tulisan “gereja” disisi timur gereja, hingga urusan perijinan diselesaikan. Tapi yang dilakukan sdr. Niko keesokan paginya adalah menambahkan papan tulisan satu lagi dan sama besarnya di sisi selatan gereja. Bahkan kemudian disusul dengan kedatangan oknum yang mengaku dari POLRES sleman (membawa surat tugas resmi) menyampaikan kepada warga agar jangan mengusik keberadaan sdr. Niko karena dilindungi oleh Vatikan dan beberapa perwira tinggi di Mabes POLRI.

11.  Setelah tidak ada kemajuan, warga Pangukan kemudian mengadu ke DPRD Sleman. Oleh DPRD Sleman kemudian difasilitasi untuk melakukan dialog lagi dengan pendeta Niko, pada tanggal 10 Februari 2011. Dalam rembug bersama tersebut, pendeta Niko kembali berjanji untuk segera menyelesaikan perijinan, dan melakukan ‘acara sosialisasi pendirian gereja’ kepada warga sekitar.

Kemudian dicapai kesepakatan, peribadatan dipindahkan ke kantor kecamatan Sleman, hingga pendeta Niko menyelesaikan perijinan.

12.  April 2011, warga menerima kabar, bahwa DPRD Sleman menerima surat teguran dari pimpinan DPR RI, dengan nomor : PW.01/3368/DPRRI/IV/2011 tertanggal 18 April 2011, karena dianggap melakukan pemasungan terhadap kebebasan beragama di Sleman, pada khususnya di dusun Pangukan. Surat teguran tersebut didasarkan atas surat pengaduan yang diklaim dikirimkan oleh warga pangukan bernama Turmudi. Padahal Bapak Turmudi tidak pernah mengirimkan surat tersebut. Surat pengaduan tersebut mengatakan bahwa terjadi
“penutupan tempat ibadah bagi warga nasrani di kabupaten Sleman yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Pangukan akibat mendapat pengaruh radikalisme, padahal tempat ibadah tersebut sudah berdiri selama 15 tahun”,

argumentasi tempat ibadah sudah berusia 15 tahun tersebut adalah keterangan bohong yang sering disampaikan oleh pendeta Niko.

13.  Warga kemudian mengirimkan surat bantahan, bahwa bapak Turmudi sudah mengirimkan surat aduan kepada DPR RI, tertanggal 27 April 2011.

14.   Pada tanggal 7 Maret 2012, Bupati Sleman mengeluarkan surat penolakan permohonan ijin pemanfaatan tanah untuk Gereja dan pastoran yang diajukan oleh Nico Lomboan

15.  Satu malam Pendeta Niko melaporkan ke polisi, bahwa barusaja menerima terror, berupa pelemparan bom Molotov ke bangunan yang dia klaim sebagai gereja tersebut, yang sangat mengagetkan karena suara ledakannya sangat keras. Bom dilemparkan ke tembok yang ada dak cor, sehingga tidak menimbulkan kebakaran. Anehnya, banyak orang yang sedang jajan di sebrang selatan bangunan maupun para tetangga sekitarnya, tidak ada satupun yang mendengar suara ledakan. Memang ada botol bekas minuman keras dilemparkan ke kanopi cor depan bangunan yang dia klaim sebagai gereja, tapi berindikasi isinya minyak tanah, sementara menurut teori hanya Molotov berisi bensin yg bisa menimbulkan suara ledakan.

16.  Seorang pegawai PT SGI bernama Roden, dengan dikawal 6 orang tinggi besar berpenampilan sangar mendatangi pondok Al Huda Pangukan. Saat beberapa warga menyusul datang ke pondok orang – orang sangar itu telah pergi.
Beberapa warga kemudian menyusul ke gereja, karena orang-orang itu datang membicarakan permasalahan gereja, sesampai di gereja, Nico dan istrinya menyambut dengan tidak menyenangkan. Mereka mengaku tidak kenal dengan orang –orang tersebut, tetapi sekian menit kemudian orang – orang tersebut bisa datang menyusul, mereka ikut bicara dengan gaya dan nada bicara yang keras.
Pada awalnya mengatakan tidak kenal, belakangan dikatakan bahwa Roden adalah ketua jemaat.

17.  Minggu 2 Desember 2012 Nico Lomboan melakukan peribadatan kembali di bangunan yang dia klaim sebagai gereja yang ditolak ijinnya tersebut. Bahkan di papan pengumuman juga sudah menuliskan jadual kebaktian selanjutnya, termasuk disitu juga dituliskan bahwa sudah membiayai ganti oli Kapolsek dan Danramil (foto terlampir).
Bahkan ketika ditegur oleh warga, preman anak buah Roden mengancam mau membunuh salah seorang warga yang ikut menonton di depan petugas polisi, petugas polisi hanya diam membiarkan, sampai anak warga tersebut menangis ketakutan polisi tetap membiarkan.

18.  Minggu, 9 Desember 2012. Nico yang sudah tidak tinggal di bangunan yang dia klaim sebagai gereja itu lagi (pindah ke Perum Buana Asri) kembali melakukan acara di bangunan yang dia klaim sebagai  gereja tersebut. Dari pagi bangunan sudah dijaga oleh satpol PP, personil Koramil dan polsek. Orang – orang yang mengaku sebagai jamaah ngotot mau masuk (Nico tidak ada di tempat), termasuk seorang sangar yang diakukan oleh Roden sebagai jamaah (tetapi pakai baju tanpa lengan dan celana pendek), yang kemudian mengancam warga, dengan mengatakan akan mendatangkan semua orang Ambon di jogja untuk melakukan “perhitungan”

19.  Perwakilan warga diminta berkumpul di kantor Satpol PP kabupaten Sleman (siang 9 Desember 2012), untuk berdialog dengan aparat. Komandan Satpol PP menjanjikan bahwa baru bisa mengajukan permintaan penyelesaian masalah ini ke pengadilan pada bulan Februari 2013 karena sudah tidak ada anggaran.

20.   Niko lomboan kemudian diam-diam membangun kembali saluran irigasi yang tadinya dia rusak. Bahkan saluran tersebut dia bikin baru dibelokkan lewat tengah lahan, tujuannya agar saluran itu lebih terekspos gampang terlihat. Pembangunan saluran baru tersebut dia gunakan untu
- See more at: http://gemaislam.com/berita/indonesia-news-menuitem/2512-kronologi-sebenarnya-peristiwa-penyegelan-gereja-liar-di-jogja-awal-juni-lalu#sthash.5j3wvAem.dpu
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hamka Perkasa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger