Islam Atau Kristen Agama Orang Papua?
Ada tiga kesalahan orang memandang Papua. Pertama, Papua identik dengan koteka, Kedua, hanya orang-orang primitiv dan Ketiga, Identik dengan Kristen. Padahal, itu keliru.
Untuk
poin pertama dan kedua, fakta itu boleh jadi benar, bahwa di
kawasan-kawasan tertentu di pedalaman bumi cenderawasih ini, hingga hari
ini masih diketemukan masyarakat dengan pola hidup primitif, sebagian
masih mengenakan koteka, serta menjalani hidup secara kanibal.
Hal
itu terjadi karena beberapa faktor, seperti terbatasnya akses
informasi—atau bahkan ketiadaan informasi yang mereka terima–serta
luasnya kawasan tersebut yang hampir 4 kali luas pulau Jawa. Bahkan,
Papua, termasuk pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di
Denmark. Maka wajar bila fakta-fakta seperti koteka dan kehidupan
primitif masih ditemui di Papua.
Namun
tentu saja hal itu tidak semuanya, mengingat sebagian dari mereka,
kini, sudah terbiasa dengan pola kehidupan maju dan melek teknologi,
utamanya mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dan hidup di daerah
pantai, baik penduduk asli maupun perantau dari luar Papua.
Fakta
lain yang selama ini terselimuti kabut tebal adalah perihal komunitas
Muslim di kawasan ini. Selama ini pula, banyak orang yang
bertanya-tanya, adakah orang Islam di Papua? Adakah komunitas pribumi
(penduduk asli Papua) yang memeluk Islam sebagai agama mereka?
Ironisnya, belum lagi pertanyaan itu terjawab, seolah ada ungkapan
pembenaran bahwa: Papua identik dengan Kristen. Atau dengan bahasa yang
lebih lugas lagi: setiap orang Papua ya mesti Kristen.
Tentu
saja statemen seperti ini membawa dampak negative yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan dakwah Islam di kawasan yang masih
menyimpan hasil kekayaan alam yang sangat melimpah ruah ini.
Bahkan
saat ini jumlah komunitas Muslim di Papua sudah mencapai angka 900
ribu jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2.4 juta jiwa, atau
menempati posisi 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua. 60%
penduduk merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan Animisme.
Namun,
di antara imej yang kurang menguntungkan seperti itu, juga “tekanan
psikologis” suasana serba Kristen, dimana setiap mata memandang begitu
banyak gereja– sebagai buah dari kerja keras para missionaries, yang
didukung dengan dana yang nyaris tak terbatas, serta ditunjang sarana
teknologi komunikasi dan transportasi canggih, pelan-pelan komunitas
Islam tumbuh dan menyinari bumi cenderawasih yang di lingkungan kaum
muslimin menyebutnya sebagai kawasan Jabal an Nuar.
Ismail
Saul Yenu (67), seorang pendeta sekaligus kepala suku besar di Yapen
Waropen telah masuk Islam dengan diikuti istri dan anaknya. Ismail yang
juga Ketua Benteng Merah Putih pembebasan Irian Barat dan Ketua
Assosiasi Nelayan Seluruh Papua telah menunaikan ibadah haji pada tahun
2002.
Seorang
pendeta di Biak Numfor bernama Romsumbre (Abdurrahman) juga telah
masuk Islam beserta keluarga dan 4 orang anaknya. Wilhelmus Waros Gebse
Kepala suku Marin, Merauke juga telah meninggalkan agama lamanya
Katolik dan memilih masuk Islam bersama Istri dan anak-anakknya. Kini
Wilhelmus sedang merintis sebuah pondok pesantren di kampung halamannya
di Merauke.
Saat
ini, di desa Bolakme, sebuah distrik di Lembah Baliem, seorang pendeta
dan kepala suku bersama 20 orang warganya ingin sekali memeluk Islam.
Berkali-kali
keinginan itu disampaikan ke tokoh masyarakat Muslim, akan tetapi
pihak MUI agaknya sangat berhati-hati dalam menerima mereka. Alasannya,
di samping faktor keamanan, juga pembinaan terhadap mereka setelah
itu, tidak ada. “Inilah tantangan bagi kita. Tidak sedikit penduduk
asli yang ingin masuk Islam, tapi kita kekurangan dai.” tutur
H.Burhanuddin Marzuki, ketua MUI Kabupatern Jayawijaya yang sudah 30
tahun tinggal di Lembah Baliem.
Berita
yang sempat meramaikan media massa adalah dengan masuk Islamnya
“kepala suku perang” H. Aipon Asso pada tahun 1974.Sebelum itu, seorang
tetua di desa Walesi bernama Marasugun telah lebih dulu masuk Islam
setelah berinteraksi dengan para perantau di kota Wamena yang berasal
dari Bugis-Makassar, Jawa, Madura maupun Padang.
Keislaman
Aipon Asso lalu diikuti oleh 600 orang warganya di desa Walesi. H.
Aipon yang kini sudah berusia 70 tahun menjadi kepala suku yang sangat
di segani di seluruh lembah Baliem. Wilayah kekuasaannya membentang
hampir 2/3 cekungan mangkuk lembah Baliem.
Ia benar-benar sosok kepala suku mujahid yang sangat diperhitungkan di kawasan ini.
Bahkan
ketika ia baru pulang dari menunaikan ibadah haji (1985), dengan
mengenakan surban dan baju gamis panjang, secara demonstratif ia turun
ke jalan dan melakukan pawai di pusat kota Wamena sambil mengerahkan
ratusan warganya yang masih mengenakan koteka dan bertelanjang dada.
Teringatlah
kita pada kisah sahabat Nabi Muhammad yakni Umar bin Khattab ketika
akan melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang tilakukannya tanpa
sembunyi-sembunyi dan tanpa ada rasa takut.
Saat
kerusuhan menimpa Wamena tahun 2000 lalu, sebagian pendatang baik
Muslim maupun Kriten dicekam rasa takut. Tidak terkecuali Muslim
pribumi pun mengalami hal serupa. Untuk meredam situasi, pihak
pemerintah menyelenggarkan pertemuan dengan kepala-kepala suku dan
tokoh-tokoh agama. Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah
tersebut H.Aipon mengusulkan ditempatkannya aparat keamanan secara
permanen di kawasan ini dan itu disetujui.
Di
ibukota provinsi Papua, Jayapura, seperti juga di kota-kota lain
seperti Fak-Fak, Sorong, Wamena, Manukwari, Kaimana, Merauke, Timika,
Biak dan Merauke, suasana keislaman semakin tampak, khususnya di
kalangan pendatang. Selain jumlah rumah ibadah yang semakin bertambah,
kegiatan halaqah juga tumbuh tidak kalah subur. Selain itu, bila kita
jalan-jalan di pusat kota Jayapura tidak sulit kita menemui Muslimah
berjilbab lalu lalang di antara keramaian. Termasuk di kampus ternama di
Papua Universitas Cenderawasih, para wanita berjilbab juga dengan
mudah kita temui.
Penduduk Muslim di kota terdiri dari para pedagang, pagawai, pengusaha, pelajar/mahasiswa, guru, atau buruh.
Secara
keseluruhan jumlah komunitas Muslim di Papua mengalami peningkatan
yang cukup pesat, utamanya di kota kabupaten atau provinsi. Dalam
catatan yang dikeluarkan oleh LP3ES, terdapat 7 kantong-kantong Kristen di seluruh Indonesia yang makin menyusut. Sebaiknya jumlah penduduk Muslim semakin tumbuh.
Sebenarnya potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Muslim di Papua tidak kalah banyak di banding dengan ummat lain.
Akan
tetapi nampaknya ada semacam perasaan ‘tidak PD” di kalangan mereka
untuk tampil dan terlibat langsung dalam lingkar pemerintahan.
Akibatnya, mereka hanya menjadi penonton, atau—katakanlah– turut
terlibat, namun ada di ‘wilayah yang tidak menentukan’.
“Ini
tentu saja menjadi PR kita ke depan. Ummat Islam Papua harus menghalau
rasa tidak PD-nya, dan selanjutnya bersama yang lain terlibat langsung
membangun Papua,” tutur Mohammad Abud Musa’ad MSi(42), intelektual
Muslim Papua yang juga anggota tim penyusun UU otonomi khusus
Papua.“Secara historis, keberadaan ummat Islam sebagai pendatang awal
di Tanah Papua, sudah klir. Dan itu sudah tertuang dalam buku putih
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Papua.” jelas Musa’ad yang tinggal di
bilangan Abepura, Jayapuran ini. “Namun yang terpenting, kita harus
segera berkarya dan tidak boleh asyik bernostalgia dengan
sejarah,”pesannya pada Muslim Papua.
Musa’ad
juga menyadari, kendati sejumlah pertemuan tentang kedudukan ummat
Islam di Papua pernah dilakukan, akan tetapi karena tidak adanya
sosialisasi dan tindak lanjut dalam program, semua seolah lenyap tanpa
bekas.
Masih
kata Musa’ad, bahwa peran politik ummat Islam Papua saat ini masih
terlalu kecil, yakni tidak lebih dari 10 %. Kenyataan ini tentu saja
sangat memperihatinkan.
Bahkan
dapat dibayangkan dari 900 ribu jiwa Muslim yang tersebar dalam 29
kabupaten/kota yang ada saat ini, hanya terdapat dua kabupaten yang
dipimpin oleh pejabat Muslim yakni di Fak-Fak dan di Kaimana. Bahkan di
kantong-kantong kabupaten berpenduduk asli mayoritas Muslim seperti
Babo dan Bintuni, misalnya, saat ini dipimpin oleh non-Muslim.
Senada
dengan Musa’ad, menurut DR (desertasi) Toni Vm Wanggai yang juga Ketua
Sekolah Tinggi Agama Islam Yapis Jayapura, bahwa sosialisasi dan
pelurusan sejarah Islam di Papua harus dilakukan terus menerus.
Hal
itu perlu dilakukan agar ummt Islam di Papua mengetahui jati diri
mereka, sekaligus menginformasikan kepada fihak lain yang belum faham,
untuk tidak menganggap kaum Muslimin sebagai ‘tamu di Papua’. Muslim
adalah juga pemilik sah kawasan ini, sehingga mereka memiliki porsi
keterlibatan yang sama untuk membangun Papua. Islam hadir di Papua abad
ke-XV sedang Kristen masuk Papua pertengahan abad ke-XIX (5 Februari
1855).
Kegelisahan
Toni, adalah seiring dengan adanya upaya dari kelompok Kristen yang
ingin menghapuskan jejak Islam di kawasan ini, khusunya di kawasan Raja
Ampat Di mana hama “Raja Ampat” akan dihilangkan dan diganti dengan
nama lain. Padahal, nama Raja Ampat adalah se-monumental sejarah Papua
sendiri.
“Nama
Raja Ampat diambil dari eksistensi kerajaah-kerajaan Islam yang
berkuasa di kawasan Indonesia timur saat itu yakni: Ternate, Tidore,
Jailolo dan Bacan.” tegas Toni yang mengambil desertasinya tentang
‘Rekontruksi Sejarah Islam Papua’.
Kendati
masih sebatas wacana yang dipublikasikan di media lokal, namun tak
urung informasi nyeleneh seperti itu membuat gelisah sejumlah tokoh
Muslim.
“Itu
sama dengan bunuh diri.” kata M Shalahuddin Mayalibit, SH,
mengomentari gagasan itu. “ Sekalipun dipublikasikan seribu kali, itu
tidak akan terwujud.” kata dosen Fakultas Hukum di Universitas
Cenderawasih ini menjelaskan.
“
Raja Ampat dan Muslim sudah menjadi satu kesatuan yang sulit
dipisahkan,” tegas cucu Muhammad Aminuddin Arfan, tokoh Muslim dari
kerajaan Salawati yang ditugasi Raja Tidore untuk mengantar CW. Ottow
dan GJ Geissler si bapak Kristen ke Papua.
Seiring
dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang
otonomi khusus, peluang keterlibatan Muslim di pemerintahan semakin
terbuka lebar. (baca: Peluang dan Tantangan di Era Otonomi) Hanyasaja
diperlukan kekompakan dari segenap elemen Muslim baik para
intelaktualnya, ormas Islam, alim ulama, tokoh pemuda, mahasiswa dan
remaja, pondok-pondok pesantren, dll.
Tanpa
dengan itu mereka akan tetap terpinggirkan, dan bahkan tidak mustahil
akan menjadi ‘kambing hitam politik’ oleh kelompok kepentingan yang
sudah lama ingin menguasai Papua (Kristen).
Pada
tahun pertama penjajah Belanda di Papua, hampir seluruh tenaga yang
ditempatkan di sana adalah missionaries. Islam Atau Kristen Agama Orang
Papua? Habis Manis Sepah Dibuang
Para
sejarawan Barat seperti Thomas W. Arnold maupun WC.Klein dalam bukunya
“The Preaching Of Islam” dan “Neiuw Guinea” menjelaskan bahwa Islam
hadir di kawasan Papua ini 3 abad lebih dulu (1520) dari para
missionaris Kristen yang pertama yakni C.W.Ottow dan G.J. Geissler yang
mendarat di Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Februari 1855.
Uniknya
kedatangan para missionaris itu justru diantar oleh tokoh Muslim dari
kerajaan Ternate dan Salawati, yang pada saat itu sangat berpengruh di
kawasan Timur Indonesia khususnya di Maluku dan Papua(baca buku: Islam
atau Kristen Agama Orang Irian? Pustaka Dai: 2004). Saat itu setiap
orang yang akan memasuki Papua harus meminta izin penguasa dari
kerajaan Muslim tersebut.
Ottow
dan Geissler yang berasal dari Gereja Protestan Jerman, adalah murid
Ds. OG. Heldring yang membentuk perhimpunan “Pengijil Tukang” yakni
juru injil yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan
pertanian, pada tahun 1847.
Selain
Ottow dan Geissler, delapan orang utusan di kirim oleh institusi
tersebut ke Sangir dan Talaud, sebuah kawasan di bagian utara pulau
Sulawesi Utara.
Mereka
itulah missionaries-missionaris handal pada masanya, yang telah sukses
menancapakan tonggak Kristenisasi secara permanen di kawasan timur
Indonesia, khususnya Papua.
Dalam
bukunya “Neiuw Guinea”, WC. Klein juga menjelaskan fakta kapan
kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese
hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun
1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari
kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan)
Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat, Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar.
Begitupun
adanya fakta dan data yang tak terbantahkan dengan jelas menyebutkan
bahwa, sebelum kedatangan dua orang missionaris tersebut, beberapa
daerah di Papua seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati dll telah
memeluk agama Islam.
Catatan dari Kitab Klasik
Dari
keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama,
misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: ” Ikang sakasanusasanusa
Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot
Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur
ning angeka nusatutur“.
Menurut
sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain untuk
daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Semua tempat itu
berada di Kaimana, Fak-Fak.
Catatan
serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Inc.
Berkeley, California 1991, sebuah wadah sosial milik misionaris
menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam: Dalam kitab
Negarakertagama, di abad ke-14 di sana ditulis tentang kekuasaan
kerajaan Majapahit di Jawa Timur, dimana di sana disebutkan dua wilayah
di Irian yakni Onin dan Seran. Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun
demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan
barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki
pengaruh jauh sebelumnya.
Pengaruh
ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat
suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan
Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan
pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di
Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana.”
Dari
data tersebut jelaslah bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah
daerah di Papua sudah termasuk milayah kekuasaan Majapahit. Seiring
dengan runtuhnya kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai
sejumlah kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai,
hingga Thailand, hadirlah kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan
sejak zaman baru itu, atau bahkan jauh sebelumnya, pengaruh kerajaan
Islam Demak menyebar ke Papua. Melalui jalur perdagangan para saudagar
dan dai Muslim sudah berdakwah ke sana.
Bahkan
menilik dari catatan di Troloyo, sebagaimana diungkapkan oleh Prof.DR.
Habib Mustopo, seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi
Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada
sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Pada
saat Majapahit eksis dakwah Islam juga sudah eksis. Apalagi dengan
diketemukanya data artefaktual yang waktunya terentang antara
1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat
Keraton Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat
Keraton Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan. Kedigjayaan
Majapahit sendiri runtuh secara total tahun 1527 M. Itu artinya, satu
setengah abad sebelum keruntuhan Majapahit Islam sudah berkembang,
justru di jantung Majapahit. Fakta ini tentu saja menepis anggapan yang
ada selama ini bahwa perkembangan dan bertumbuhan Islam, khususnya di
Pulau Jawa, ada setelah keruntuhan Majapahit. Para dai Muslim juga
menyebar ke mana-mana baik yang dari tanah Jawa maupun dari Timur Tengah
termasuk ke Pulau Burung Papua.
Lalu
munculah tentara kolonial Belanda. Di awal kedatangannya ke Papua,
hampir sebagian besar pasukan kolonial Belanda yang diterjunkan ke
kawasan ini adalah merangkap rohaniawan gereja (missionaries).
Catatan
di bawah ini menjelaskan tentang hal itu. “Sejak tahun 1855 CW.Ottow
dan GJ. Geissler menetap sebagai penyiar agama Kristen di daerah
Doreri, lambat laun jumlah golongan orang-orang Belanda di Irian
Barat(Papua) bertambah dengan para penyiar agama yang berusaha
menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Malah pada
tahun-tahun pertama dari masa penjajahan Belanda di Irian Barat [Papua]
hampir seluruh golongan orang-orang Belanda di daerah tersebut, terdiri
dari para penyiar agama Kristen”. (Penduduk Irian Brat hal. 105)
Artinya,
di samping sebagai tentara, dokter atau perawat, ya juru rohani juga.
Maka sangat wajar jika mereka dengan gigih berjuang meski menghadapi
medan yang sulit, menguasai dan mengontrol wilayah jajahan, sekaligus
mengajak warga pribumi kepada Kristen.
Terhadap
penduduk pribumi mereka menanamkan mitos-mitos meyesatkan bahwa nenek
moyang mereka sesungguhnya berwarna kulit putih dan akan kembali datang
(messiah) dalam bentuk kulit putih.
Sangat
jelaslah bahwa semboyan pereka (Barat) yang dikenal dengan tiga G
(Gold, Glory, Gospel; Emas, Kebebasan dan Injil) bukan lagi suatu
rahasia. Mereka dengan penuh semangat mendatangi negeri-negeri jajahan
demi memenuhi ambisinya itu. Bahkan Indonesia, bagi mereka(missionaris)
disebutnya sebagai lahan yang sangat subur untuk Injil.
Secara
sistematis kemudian para zending ini bekerja menyebarkan agama Kristen
dengan melalui organisasi yang berpusat di negeri Belanda yang benama:
Utrechtsehe Zendingvereeniging. Begitu pula kemudian kegiatan yang
dilakukan oleh kaum missionaris Kristen Katolik, yang juga berpusat di
Belanda, yakni suatu ordo Franciscan di Tilberg yang merupakan suatu
cabang dari pusat missi di Vatikan yaitu: Sacra Congregatio de
Propaganda Fide.(Penduduk Irian barat hal. 344-355)
Akan tetapi nampaknya dalam proses penginjilan di Papua, para missionaris itu mengalami ketidakakhuran.
Akhirnya
mereka membagi Papua menjadi kedua wilayah penggarapan, dimana Kristen
Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan. Pembagian seperti
itu kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda di mana di
sana diterapkan sistem seperti itu.
Menyangkut
kondisi ummat Islam kalau itu, menilik penelitian antropologis yang
pernah dilakukan oleh Harsja W.Bachtiar pada tahun 1963 misalnya
melaporkan sbb:
…
beberapa daerah di Irian Barat(Papua) menjadi daerah kekuasaan Sultan
Tidore dan Sultan Banda. Sayang sekali karena tidak ada
peninggalan-peninggalan berupa keterangan-keterangan tertulis, kita tak
mengetahui bilamana dan di mana didapati pula orang-orang Indonesia
yang berasal dari pulau-pulau Indonesia di luar wilayah Irian
barat(Papua). Pada umumnya mereka menganut agama Islam.
Lain
halnya dengan penyebaran para pendatang yang non-Muslim, laporan
tersebut memberikan gambaran yang sedikit jelas dengan melaporkan
antara lain sbb:
“Sejak
diadakan usaha-usaha menyiaran agama Nasrani di Irian Barat
(Papua.pen) oleh penyiar-penyiar agama dari Negeri Belanda jumlah orang
Indonesia bukan pribumi bertambah di Irian Barat (Papua.pen), karena
penggunaan tenaga-tenaga kerja yang berasal dari pulau-pulau sekitarnya
untuk membantu para penyiar agama, terutama sebagai guru sekolah dan
perawat. Banyak orang-orang yang menganut agama Nasrani ini didatangkan
dari pulau-pulau Maluku seperti Kei, Ianimbai, Banda dan Sangir.”
Tentang
komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua, berdasarkan catatan yang
dibuat tahun 1963, di dapat angka-angka sebagai berikut:
Kristen Protestan………………. 130.000
Katolik Roma…………………….. 47.000
Islam………………………………. 11.000
Agama Tionghoa………………… 3.000
Agama-agama pribumi… ……. 500.000
Terhadap
data dan komposisi ragam pemeluk agama tersebut, laporan itu
memberikan penjelasan: Angka-angka 500.000 yang menunjukkan jumlah
penganut agama-agama pribumi bukanlah angka pasti, karena didasarkan
atas taksiran jumlah orang-orang pribumi di daerah pedalaman yang berada
di bawah kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru (kini
Jayapura).
Golongan
penganut agama Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah yang
pernah dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut
agama Katolik Roma terutama didapati di daerah pantai selatan. Golongan
penganut agama Islam amat banyak di daerah semenanjung Doreri dan
Merauke, sedangkan golongan menganut agama Tionghoa didapati diberbagai
tempat.
Tentang
kesulitan melacak gerakan dakwah Islam di Papua, juga dimungkinkan
oleh faktor internal ummat Islam sendiri, yaitu karena faktor kurang
terbiasanya ummat Islam setempat melakukan pencatatan yang menyangkut
kegiatan mereka. Berbeda dengan para missionaris Belanda.
Secara
rutin dan teliti mereka mendata jumlah penduduk setempat agar dapat
mengikuti perkembangan jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing.
Kaum missionaris memiliki “Buku Jiwa” sedang kaum Zending memelihara
“Buku Serani” yang berisi catatan tentang penduduk di wilayah kerjanya
itu. Dari catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah oleh
pusat-pusat organisasi mereka.
Air
Susu Dibalas dengan Pengusiran Mengenai bagaimana watak dan corak
pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dalam hubungannya dengan
persoalan agama, telah menjadi pengetahuan umum yang luas. Mereka
menekan dan memenjarakan tokoh-tokoh Islam di tanah Papua. Sebutlah
misalnya Alwi Racham dan Raja M Rumangseng Al-Alam Umar Sekar yang
berasal dari daerah Kokas. Beliau bersama pejuang Papua lainnya seperti
Silas Papure, Markus Indeu, Lukas Rumkorem memperjuangkan Papua dari
cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh
pemerintah Kolonial Belanda karena tidak mau dibujuk untuk menyerahkan
uang tambang minyak kepada Belanda, bahkan mereka tidak segan mengusir
atau membuang tokoh-tokoh Muslim. Muhammad Aminuddin Arfan seorang
tokoh Muslim dari Kerajaan Islam Salawati yang turut mengantar
kedatangan OC.Ottow dan GJ.Geissler –Sang Bapak Gereja di Papua–di
Pulau Mansinam, dibuang dan diasingkan ke Maros karena menentang
penjajahan Belanda dan meninggal di sana. Habis manis sepah dibuang.
Muhammad
Aminuddin Arfan adalah orang penting di Kerajaan Salawati. Ia adalah
adik kandung Raja Salawati. Pada saat itu Kerajaan Salawati merupakan
bagian dari kekuasaan kerajaan Islam Ternate. Sesuai prosedur wilayah,
setiap tamu yang akan berkunjung ke Papua, mereka harus minta izin ke
penguasa kawasan di Salawati yang merupakan bagian kekusaan Ternate.
Itu pula yang dilakukan Kerajaan Ternate. Sembari membawa dua orang
missionaris berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler dengan kapal
khusus berwarna putih, utusan Kerajaan Ternate pamit dulu dengan
Penguasa Kerajaan Salawati, sekaligus meminta beberapa orang untuk
mendampingi missionaris yang akan melakukan tugas penginjilan di pulau
Mansinam, Manukwari.
Pulau
Mansinam dipilih lantaran dianggap masih dihuni mayoritas Animisme.
Setelah dua bulan “memperkenalkan” Ottow dan Geisler kepada
kepala-kepala adat, barulah Muhammad Aminuddin Arfan kembali ke
Salawati.
Ironisnya,
selang berapa waktu setelahnya, Muhammad Aminuddin Arfan yang memang
anti Belanda ditangkap dan diasingkan di Maros. Beliau tidak
diperkenankan pulang, dan dibiarkan di sana hingga wafatnya. Di sinilah
liciknya para penjajah Salibis. Ditulung malah Mentung (dibantu malah
melukai), kata peribahasa Jawa. Air susu dibalas dengan air tuba.
Mungkin
karena keadaan yang demikian itulah maka perkembangan dakwah Islam di
Papua menjadi amat lambat, bahkan mungkin (pernah) terhenti sama
sekali.
Sumber:
Ali
Athwa. Penulis adalah wartawan Majalah Hidayatullah dan penulis buku
“Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)”. Tulisan diambil dari
Majalah Hidayatullah
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !